Mengenal Konsep Takdir

takdir

Walaupun masalah takdir masuk ke dalam aqidah, ternyata banyak juga yang tidak memahaminya dengan benar. Biasa kita dengar uangkapan seperti ini: “Memang sudah takdirku untuk menjadi miskin seumur hidup” atau “Sudah takdir dia untuk bunuh diri” atau lebih parah lagi “Aku beragama Kristen, karena takdir jualah”, dan masih banyak contoh lain yang membuat kita geleng-geleng kepala karena mereka menyalahkan takdir kalau mereka gagal atau malas berbuat sesuatu. Jadi pada umumnya umat Islam dalam masalah qadar terpecah ke dalam tiga golongan:

1. Ekstrim dalam menetapkan qadar.

Manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan. Dia hanya dikendalikan dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan atau tanpa kemampuannya.

Kalau mengikuti pemikiran ini, maka perbuatan maksiat yang kita lakukan tidak bisa dihukum, dengan alasan perbuatan maksiat itu bukan kehendak dirinya, tapi kehendak Allah SWT. Dengan demikian Allah adalah zhalim jika mengazab dan menyiksa orang yang berbuat maksiat. Kalau mengikuti paham ini, maka orang-orang yang mengikuti jalan kesesatan bisa saja berdalih bahwa Allah SWT telah menghendakinya demikian? Tentu saja hal ini tidak benar, karena dalam Ash-Shaf 61:5 dan Al-Maidah 5:13, Allah telah menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri.

2. Ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.

Sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat oleh adalah karena kehendak dan keinginan Allah SWT. Menurut mereka, manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Allah SWT tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka menyangkal bahwa kebaikan yang diperoleh adalah berasal dari Allah dan berkata bahwa kebaikan yang mereka peroleh itu adalah hasil usaha mereka sendiri.

3. Berada dipertengahan yaitu dengan berpijak di atas dalil syari’i dan dalil ‘aqli.

Mereka inilah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Golongan ini berpendapat bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya. Akan tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah SWT.

Iman kepada takdir terdiri dari empat unsur:

  1. Al-‘Ilmu, yaitu mengimani bahwa Allah SWT maha mengetahui atas segala sesuatu, baik yang akan terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang telah terjadi.
  2. Al-Kitaabah, yaitu mengimani bahwa Allah SWT telah mencatat seluruh kejadian hingga hari kiamat di Lauhul Mahfuz.
  3. Al-Masyii-ah, yaitu mengimani bahwa Allah SWT berkehendak atas apa yang terjadi di langit dan bumi serta di antara keduanya. Namun, Allah juga memberikan kehendak dan kemampuan kepada makhluk-Nya untuk melakukan amal shalih atau memilih apa yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat.
  4. Al-Khalq, yaitu mengimani bahwa Allah-lah yang telah menciptakan segalanya sehingga perbuatan manusia pun Allah SWT pula yang menciptakannya.

Takdir Baik dan Buruk

Takdir ini terbagi dua yaitu takdir baik dan takdir buruk. Takdir buruk tidak seluruhnya buruk, akan tetapi ia mengandung kebaikan di sisi lain. Contoh takdir buruk seperti kecelakaan, kematian akibat tabrakan, tidak lulus ujian, kecurian, banjir, kekeringan, dll. Jika menerima takdir buruk jangan menyalahkan Allah, karena Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi umatnya dan mungkin ada hikmah yang baik di kemudian kelak. Allah SWT menciptakan takdir buruk untuk menguji iman manusia. Takdir buruk bisa dihindari dengan memperbanyak doa dan sedekah, dan Menghindari hal-hal buruk seperti mencuri dan berbohong.

Contoh 1:

Ketika kamu berusaha keras untuk menjadi juara kelas dengan belajar terus menerus; namun, pada saat pengumuman, ternyata kamu tidak berhasil menjadi juara kelas. Kamu tidak boleh kecewa. Hal ini harus kamu yakini sebagai takdir dari Allah SWT. Kamu tidak menjadi juara kelas, merupakan kehendak Allah semata. Di balik kehendak itu, Allah merencanakan sesuatu yang lain pada diri kita, yang kita sendiri tidak mengetahuinya.

Contoh 2:

  1. Pasrah pada takdir – Sambil duduk di rumah berkata: “Kalau sudah ditakdirkan, rizkiku tentu akan datang dengan sendirinya”.
  2. Mengingkari takdir – Seseorang berusaha keras mencari rizki. Tapi setelah rezki di dapatkan dia berkata: “Semua yang aku dapatkan ini adalah hasil jerih payahku sendiri”.
  3. Percaya kepada takdir dan tetap berusaha – Rizki bagi setiap orang telah ditentukan oleh Allah SWT. Tapi kita tidak mengetahui kapan rizki itu akan datang dan berapa besarnya. Dengan demikian kita tetap berusaha untuk mencari rizki dengan susah payah.

Diringkas dan ditambah sendiri sedikit-sedikit dari tulisan Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin yang berjudul “Pengertian Tauhid dan Macam-Macamnya” yang diambil dari sebuah buku yang berjudul “Rukun Iman Di Guncang” oleh H. Hartono Ahmad Jaiz.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s