Untuk mengatahui apa itu tafaul, maka perlu kita baca hadith Nabi SAW. Dalam sebuah hadis Rasululullah saw bersabda:
“Tiada jangkitan penyakit (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada kesialan sesuatu, akan tetapi aku menyukai al-fa’l”. Para sahabat bertanya: “Apa itu al-Fa’l, ya Rasulullah?” Baginda menjawab: “Kalimah/ucapan yang baik”. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Anas ra)
Al-Fa’l menurut ulama bermaksud seseorang mendengar atau terdengar suatu ucapan yang baik. Contohnya ada seorang yang sakit, lalu kawannya datang dan menziarahinya. Ketika hendak masuk, kawan itu berkata: “Ya Salim (yang bermaksud: “Wahai orang yang sehat/selamat”). Dengan panggilan itu ia menaruh keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan sehat atau selamat. Menaruh keyakinan atau harapan seperti ini disebut al-Fa’l atau at-Tafa’ul.
Rasulullah membenarkan al-Fa’l atau at-Tafa’ul karena ia berprasangka baik (husnu dzan) kepada Allah atau menaruh harapan kepadaNya, dimana setiap mukmin diperintahkan supaya senantiasa berprasangka baik kepada Allah setiap saat.
Tapi ada juga yang mengartikan tafaul sebagai mengharapkan sesuatu yang sama atau mengharapkan sesuatu dari yang lain agar mempunyai sifat yang sama dari yang ditafaulinya, tanpa ada persambungan adat.
Contohnya:
- Memandikan wanita hamil dengan menggunakan air belut dan air kelapa muda, agar mudah dan licin di waktu melahirkan seperti licinnya belut. Padahal antara air belut dan yang hamil tidak ada persambungan adat.
- Atau seperti membawa janur kuning ke sawah yang padinya sedang menguning agar padinya lebih cepat menguningnya dan merata.
Tafa’ul dalam dua contoh di atas termasuk tafa’ul bid’ah. Jika keinginannya terkabul seperti yang ditafa’ulkannyanya, maka akan timbul khowarikun lil adat dari pekerjaan yang tidak nash al-Qur’an ataupun al-Hadith.
Dari contoh janur kuning di atas, secara ilmiah tidak ada hubungan sebab akibat antara membawa janur kuning ke sawah agar padi cepat menguning. Atau adat kebiasaannya bukan seperti itu. Adatnya adalah padi cepat menguning dan siap dipanen bila menggunakan bibit padi yang bagus, pupuk yang sesuai, pengurangan bahan kimia, dsb. Seandainya padi yang ditanam tidak memenuhi kriteria di atas, tapi cepat menguning akibat dibawakan janur kuning, maka ini sudah termasuk ke dalam sihir. Tentu saja hukumnya menjadi haram.
Contoh lain adalah bahan-bahan yang sering digunakan untuk upacara tepung tawar.
- Nasi Ketan (nasi yang melekat erat sesamanya)
- Air (semoga selalu dalam hak Allah)
- Tepung Tawar/Bedak (semoga dihias dengan kebahagiaan)
- Bunga (wangi dan disenangi serta indah)
- Minyak Wangi (selalu dipergunakan disaat ibadah karena kesunnahannya)
- Daun Sedingin (daun yang bersifat dingin dan aman ketika dimanfaatkan)
- Rumput Seumbo (mudah rizki dan kuat manfaatnya)
- Daun Pandan (bagus barang yang dituju karena kewangiannya)
- Batang Talas (cepat berkembang dan batangnya selalu bermanfaat)
- Tunas Pinang (kuat dan lurus ketika dimanfaatkan)
- Inai /pacar (kuat manfaat dari segi apapun)
- Emas (barang yang dituju sesuatu yang sangat berharga)
- Beras & Padi (makanan pokok yang berkembang banyak dan selalu dimanfaatkan)
- Garam (sesuatu yang menyedapkan dan memuaskan)
- Gula (barang yang dituju agar mendapat kesenangan)
- Kunyit (cepat berkembang serta makmur)
- Limau Purut (membawa kebahagiaan)
- Kemenyan (disukai Malaikat pembawa rahmat)
- Kapas (beban yang berat jadi ringan)
- Kaki Ayam (giat mencari rizki yang halal)
- Hati Ayam (agar terbolak-balik hati)
- Dan lain-lain
Mari kita ambil contoh rumput seumbo. Diharapkan bila ditepung tawar dengan rumput seumbo maka akan dimudahkan rezeki yang kuat manfaatnya. Secara adat, adakah hubungan rumput seumbo dengan mudah rezeki? Tidak ada sama sekali. Maka tafa’ul ini termasuk bid’ah.
Lain halnya bila ada contoh dari nash al-Quran dan as-Sunnah, maka hukumnya menjadi sunnat. Contohnya adalah seperti memberi nama kepada si anak dengan nama yang baik dengan harapan budi pekertinya menjadi baik.
Tafa’ul ini tidak bisa diqiyaskan seenaknya saja, karena syarat qiyas adalah mesti ada Masalikul ‘illat yang sah menjadi landasan hukum Syara’.
Sekarang mari kita lihat contoh-contoh lainnya, supaya kita lebih memahami konsep tafa’ul ini.
Banyak orang beranggapan bahwa daging aqiqah harus dimasak dengan sesuatu yang manis dengan harapan akhlak anak tersebut di kemudian hari menjadi manis. Mereka menyebutnya sebagai tafa’ul. Betulkah hal ini?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa daging aqiqah seyogyanya dimasak manis. Maksudnya, masakan daging aqiqah tersebut diberi gula dalam jumlah yang banyak sehingga terasa manis. Hal ini dilakukan dengan harapan akhlak anak tersebut besok hari adalah akhlak yang manis. Anggapan ini adalah pendapat yang lemah karena perbuatan ini tidak ada dalilnya, dan masalah optimistis atau pengharapan seyogyanya tidak kita perluas sampai keterlaluan seperti ini. (Lihat as-syarhu al-Mumti’ Jilid VII hal 546)
Contoh 2: Menyiram Kuburan Dengan Air Sejuk
Ada yang mengatakan bahwa menyiram kuburan dengan air sejuk sebagai tafa’ul semoga Allah menyejukkan orang dalam kuburan. Benarkan hal itu?
Sebelum mengaitkannya dengan amalan tafa’ul, mari kita lihat apakah ada landasan yang kuat tentang menyiram air dikubur ini. Dari sisi ilmu hadith, riwayat yang berkenaan dengan menyiram air di kuburan semuanya dhaeef. Dari sudut fiqh al-hadith para ulama berbeda pendapat boleh atau tidak menyiram air di kubur.
Sebagian ulama mazhab al-Syafie dan Hanafi sangat menganjurkan untuk menyiram air di kuburan. Contohnya seperti al-Samarqandi (375H) (tokoh mazhab Hanafi) berkata dalam kitabnya Tuhfat al-Fuqaha: ”Adapun menyiram/merenjis air di kuburan maka tiada masalah padanya, karena ia di perlukan untuk meratakan/memadatkan tanah kubur itu.
Bagi ulama yang melarangnya, menyiram air di kubur tidak di syariatkan, karena hadith-hadith yang menjadi pijakan amalan ini dhaeef semuanya.
Adapun amalan menyiram air di kuburan dengan menggunakan air bunga atau air yasiin secara khusus seperti yang biasa di amalkan sesetengah kaum muslimin masa kini adalah di larang. Ini merupakan perkara yang baru dalam agama yang dilarang sama sekali.
Dari keterangan di atas saja sudah bisa bisa diketahui bahwa amalan menyiram air di atas kubur berasal dari hadith-hadith dhaeef dan tidak boleh diamalkan kecuali untuk memadatkan atau meratakan tanah. Inikah pula untuk dijadikan sandaran tafa’ul agar orang di dalam kubur itu menjadi sejuk. Sungguh suatu hal yang mengada-ngada.
Contoh 3: Membalik Selendang dan Menghadap Dua Punggung Tangan ke Langit
Ketika meminta hujan, Nabi saw mengangkat kedua tangannya ke langit dan membalik selendang. Ini dikatakan dalam hadis berikut ini:
“Sesungguhnya Nabi keluar bersama manusia memintakan hujan untuk mereka. Maka beliau berdiri, berdo’a kepada Alloh seraya menghadap kiblat, lalu membalik selendangnya, lalu hujan pun turun.” (HR. al-Bukhori 1023)
Rasululullah saw sangat bersungguh-sungguh ketika mengangkat tangan.
“Sesungguhnya seperti inilah Rosulullah berdo’a minta hujan, yakni beliau mengangkat kedua tangannya dan menjadikan perut kedua telapak tangannya menghadapi ke tanah (ke bawah).” (HR. Abu Dawud 1171)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: Ulama berkata: Setiap do’a yang ditujukan untuk menghilangkan bala’ (musibah), Cara yang sesuai sunnah ialah dengan mengangkat kedua tangan, yaitu menjadikan punggung dua telapak tangan ke arah langit. Namun apabila do’a itu bersifat meminta sesuatu untuk didapatkan. maka (cara yang sesuai sunnah ialah) menjadikan dua telapak tangan menengadah ke langit.
Ulama yang lain berkata : Hikmah di balik menghadapkan punggung telapak tangan ke arah langit ketika minta hujan kepada Alloh ialah untuk menumbuhkan optimisme, yaitu harapan agar keadaan yang ada di balik oleh Alloh sebagaimana di baliknya kedua telapak tangan ketika meminta hujan. Demikian Pula hikmah di balik membalik selendang (Fathul Bari 3/601). Dengan kata lain apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dapat disebut sebagai tafa’ul menurut sebagian ulama lainnya.
Tidak ada masalah jika dikatakan itu adalah salah satu bentuk tafa’ul. Dan ini memang ada contohnya dari Nabi saw. Ada nash yang shahih. Namun perlu diingat, tafa’ul ini tidak bisa di qiaskan ke tafa’ul-tafa’ul lainnya.