“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitunganNya ” (TQS. An-Nur: 39)
Allah SWT memang membebaskan manusia untuk memilih agama yang dianutnya di dunia ini sebagai jalan hidup yang dia tempuh. Kenapa Allah SWT membebaskannya? Sebab manusia telah Dia karuniai potensi fitrah (gharizah tadayyun) untuk menuju agama yang lurus (lihat QS. ar-Ruum: 30), yakni Islam, disamping kemampuan berpikir yang bisa ia gunakan buat mempertimbangkan mana agama yang lurus dan mana agama yang bengkok. Oleh karena itu ketika menyatakan bahwa orang non-muslim tidak dipaksa masuk Islam, Allah SWT menyatakan:
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat …” (TQS. al-Baqarah: 256).
Allah SWT juga telah menyuruh Rasulullah SAW untuk memberikan pengumuman yang tegas kepada orang-orang yang menolak risalah Islam:
“Dan katakanlah, Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarkanlah ia kafir …” (TQS. al-Kahfi: 29)
Dari sinilah mulai ada predikat atau cap mukmin dan kafir. Siapa saja yang menerima risalah Islam sepenuhnya dalam hati, ucapan, dan perilaku mereka, ia berhak disebut mukmin. Sedangkan yang menolak risalah Islam sebagai jalan hidupnya, ia layak disebut kafir. Allah SWT membebaskan manusia untuk memilih predikat dan cap itu tanpa paksaan sama sekali. Namun Allah SWT memberikan berbagai informasi seputar iman dan kufur (mukmin dan kafir) secara jelas kepada makhluq yang mampu berpikir itu agar dia dapat mempertimbangkan segala sikapnya dengan akal sehat. Salah satu informasi penting buat manusia adalah bahwa seluruh aktivitas “kebaikan” yang dilakukan oleh seorang kafir itu tidak dinilai di sisiNya. Bahkan dalam ayat yang sedang kita kaji tafsirnya ini diumpamakan sebagai : fatamorgana!
Fatamorgana
Menurut Imam Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf juz III/237, ayat tersebut diturunkan mengenai orang yang bernama ‘Utbah bin Rabi’ah bin Umayyah yang pada masa jahiliyah melakukan meditasi dan memakai jubah pendeta Nashrani dan mencari agama (Nashrani) yang dia anggap lebih selamat. Namun sayang, pada masa Islam malahan dia kufur dan mati dalam barisan kaum musyrikin Quraisy dalam perang Badar. Amalan orang kafir seperti dia, kata Allah, bagaikan fatamorgana (saraab) yang terjadi akibat sinar matahari di siang hari yang menimpa tanah datar (qii’ah) di padang pasir (falaah), sehingga pasir yang panas dan gersang itu terlihat bagai tergenang air. Orang yang kehausan pun akan gembira melihatnya dan bersegera mendekatinya. Tapi, dia tak akan mendapatkan apa pun karena air yang tampak itu hanyalah sebuah fatamorgana.
Kata Imam Az-Zamakhsyari (idem), perumpamaan itu memang tepat bagi orang-orang yang tak beriman kepada Islam dan tidak berbuat dengan amal yang disahkan oleh Islam. Ia tidak menjadikan Islam sebagai tolok ukur perbuatannya. Bahkan ia memandang dengan sebelah mata kepada Islam. Melecehkan. Dengan pandangannya sendiri ia menyangka bahwa amal-amalnya –yang ia sangka baik itu– akan bermanfaat di sisi Allah dan menyelamatkan dirinya dari adzab Allah. Namun di hari kiamat nanti tak menemukan ilusinya itu, bahkan sebaliknya ia bagaikan orang kehausan menemukan fatamorgana yang ia sangka air. Setelah ia dekati, bukannya air yang ia dapati, malah malaikat Zabaniyyah yang segera menyeretnya ke dalam neraka jahannam dan memberinya minuman dengan hamiim, yakni air yang sangat panas! Ya, merekalah orang-orang yang Allah sebut dalam QS al-Ghasiyah ayat 3 sebagai orang yang bekerja keras lagi kepayahan (‘aamilatun naashibah) namun tak menemukan makanan dan minuman kecuali duri dan air yang sangat panas! Itulah perhitungan Allah SWT yang pasti mereka temukan dan rasakan. Apalagi Allah Maha cepat perhitunganNya!
Amal yang sia-sia!
Sungguh kasihan orang-orang kafir itu! Kata Imam As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwaatut Tafaasiir Juz II/313, ketika seorang kafir mati dan menghadap Rabb-nya, ia ternyata tidak menjumpai amal-amalnya karena telah menjadi debu-debu yang beterbangan (habaa an mantsuura). Sia-sia! Ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan” (TQS. al-Furqaan: 23)
Kata Az Zamakhsyari (idem, Juz III/267), perbuatan-perbuatan mereka yang baik lagi mulia di dunia seperti bersilaturahmi, menolong orang-orang yang terkena musibah, melayani tamu dengan baik, menyantuni tawanan perang, dan lain-lain menjadi sia-sia lantaran kekufuran mereka.
Sungguh rugi mereka! Dan memang merekalah orang yang sangat merugi lantaran berjalan di jalan yang bengkok tetapi menyangka telah berjalan di jalan yang lurus. Allah SWT menyuruh RasulNya untuk menceritakan perihal mereka dalam firman-Nya:
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (TQS. al-Kahfi: 104).
Na’udzubillahimin dzalik.